Selasa, 21 Oktober 2008

Menafsir Ulang Tokoh Pergerakan

" JANGAN sekali-kali melupakan sejarah". Begitulah pesan Bung Karno kepada generasi muda yang terkenal dengan Jas Merah.

Setidaknya, sejarah bisa menjadi kenangan bahwa masa lalu bangsa kita sejatinya memiliki sejumlah cerita yang tidak hanya dikenang, tapi juga dipelajari dan dilanjutkan perjuangannya. Begitulah sekelumit pesan dari pameran seni rupa bertajuk Dari Penjara ke Piguradi dalam rangkaian Festival Salihara di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang berlangsung dari 17 Oktober hingga 6 Desember 2008.

Pameran yang menandai pembukaan Galeri Salihara ini mengusung tema dari teks-teks yang ditulis sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan melawan cengkeraman kolonialisme.

Teks-teks itu, baik berasal dari naskah pidato, artikel, surat, maupun catatan harian, adalah buah pikiran (dan ungkapan pengalaman) Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir,Tan Malaka,Rohana Kuddus,RA Kartini,dan lain-lain.

Tulisan itu bisa menjadi secercah jendela untuk melihat sebuah fragmen dari perjalanan hidup mereka melawan kekuasaan kolonial. Petikan-petikan teks para tokoh pergerakan tersebut kemudian ditafsir ulang, diolah, dan dihidupkan kembali dalam beragam medium oleh sejumlah perupa Indonesia yang terpilih dalam pameran ini.

Dengan semangat menghidupkan dialog lintas batas, sejumlah penulis kemudian diundang menulis esai ringkas tentang masingmasing karya rupa ataupun tentang seniman yang menghasilkannya.

”Pameran ini menghadirkan 40 karya mutakhir sejumlah perupa Indonesia,” kata Rama Thaharani, Manajer Public Relation Galeri Salihara Jakarta.Mereka yang ikut berpameran, antara lain Agus Suwage, Dadang Christanto, Diyanto, Djoko Pekik, Hanafi, Mella Jaarsma, Oky Arfie, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yuswantoro Adi.

Sebagai pusat seni baru di daerah Jakarta Selatan,Galeri Salihara yang dibangun sejak 8 Agustus 2008 tersebut berupaya merangkul seniman dari lokal maupun internasional untuk mengeluarkan ekspresinya di sini. Seperti yang disuguhkan 11 perupa tersebut yang mengawali Festival Salihara ini.

Meski dengan satu tema yang sama,masing-masing perupa menyuguhkan karakter berbeda. Dari karya instalasi, realisme, abstrak, hingga sebatas teks-teks olahan tokoh pergerakan jaman dahulu. Salah satunya karya dari Moelyono bertajuk Gaung Pidato. Karya bergambar tokoh proklamator RI dan merupakan Presiden RI pertama Soekarno itu tampak sedang berorasi di hadapan pejuang Indonesia.

Gaya bicara yang penuh semangat dan berapi-api semakin hadir dengan raut muka dan corong mulut yang terbuka lebar meski di depan mic besar. Meski tidak tampak mirip betul, setidaknya gambar ini mencoba memperlihatkan semangat tokoh perjuangan dahulu dalam memompa semangat pendukungnya.

S Malela Mahargasarie menyuguhkan Kesaksian. Di sini dua tokoh proklamator kita sedang duduk dalam satu peraduan. Namun, anehnya raut muka mereka tampak tidak senang dan kelihatan cemberut. Di sampingnya ada satu tokoh yang tidak dijelaskan itu siapa.

Tampaknya mereka sehabis berbincang masalah negara dan ada ketidaksepahaman di antara mereka. Tokoh ketiga merupakan saksinya. Sementara itu,Yuswantoro Adi membawa kenangan Raden Ajeng Kartini. Ilustrasinya menggambarkan ada seorang tokoh anak perempuan sedang menulis di atas meja.

Kartini kecil tetap mengenakan kebaya putih dan rambut bersanggul sepertinya sedang menulis surat kepada temannya.Hal itu seperti tertuang dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulisnya terutama tentang emansipasi wanita.

Namun sayang,ketika melihat apa yang ditulis pada kertas putih justru malah sebaliknya.Tulisan itu berbunyi,”Mo nulisapa ya? Bingung deh...Soalnya ini kan cuma Kartini-kartinian…” Di karya instalasi ada suguhan Nus Salomo dengan karyanya Legacy Cocoon.

Di sini banyak kepompong yang diberi lampu dan digantung dengan ketinggian berbeda. Tampak seperti bola lampu,tetapi dengan bentuk beraneka macam. Di sudut depan ada gambar tubuh seseorang dengan kepala mirip Bung Karno.

Salah satu tangan kanannya menunjuk ke kepalanya sendiri. Ia berpesan bahwa orang bisa saja bermetamorfosis menjadi orang baik atau orang buruk,tergantung dia mau yang mana.Tohsemua ada risikonya. Perupa Djoko Pekik kembali menayangkan lukisan yang biasa kita temukan di kereta.

Biasanya pejuang ramai di atas kereta sambil memekikkan Merdeka atau Mati.Begitu juga di badan kereta, banyak tulisan serupa yang menggelorakan semangat pemuda di jaman itu. Lukisan sinisme datang dari perupa asal Bali Wayan Sujana Suklu.

Lukisannya cukup sederhana hanya menggambar peta Indonesia.Anehnya,peta Jawa tidak ada dan diganti mirip Pulau Jawa, tetapi dibuat semacam jembatan.Warnanya pun masih mengadopsi merah putih.

Lukisan bertajuk Jawa Egosentris tersebut mengesankan selama ini pembangunan hanya terfokus di sini,sedangkan yang lain hanya memble,suruh setor upeti ke pusat saja

0 komentar:

© 2008 Por *Templates para Você*